Jumat, 01 April 2016

Pengertian Pengalaman

    PENGALAMAN-PENGALAMAN

   Menjadi pembina upacara itu memang mengenakkan. Dihormati banyak peserta, diberi hak memberi wejangan, dan bisa marah. Karena itu, saya kerap mengirikan posisi itu. Namun sepanjang hidup, posisi itu tak juga saya dapatkan. Sampai Agustus lalu, ketika atasan saya sakit, saya pun menjadi pembina upacara, posisi yang sangat saya inginkan itu.

            Tapi, tahukah Anda? Bukan bahagia yang saya dapat, melainkan rasa malu.
            Sebenarnya, semuanya berjalan lancar. Dari awal, saya santai dan tenang. Dengan suara yang saya berat-beratkan untuk menambah wibawa dan muka yang saya tekuk serius, saya berkata, ”Untuk mengenang jasa para pahlawan yang rela berkorban demi kemerdekaan yang sedang kita nikmati kini, marilah kita mengheningkan cipta sejenak dan mendoakan mereka. Hening cipta …, mulai!


            Suasana langsung hening. Lagu himne pun berkumandang, pelan, syahdu, menyentuh. Saya pun terbawa suasana, hanyut. Sampai lagu akan berakhir, saya masih menikmati momen itu. Dan lagu pun akan berakhir. Tapi, duhh… Masya Allah, saya tidak tahu bagaimana mengakhiri hening cipta itu. Sibuk memori saya mencari-cari, tetapi tak juga menemukan kalimat yang pas Apakah hening cipta tamat, usai, selesai, atau apa? Duhh… Gusti.


            Saya menangkap keresahan peserta upacara. Saya pun gugup. Keringat mulai menetes. Tengkuk dan ketiak saya pun basah. Gerah sekali. Tanpa sadar, saya menengadahkan kepala. Tapi, ternyata banyak peserta upacara yang sudah menengadahkan kepala dan menatap saya. Refleks, saya menunduk. Dengan suara gemetar, saya katakana, ”Hening cipta… sudah!”
            Dan, inilah yang tak saya bayangkan. Suasana khusyuk, khidmat, tenang, dan penuh rasa terima kasih pada pahlawan langsung cair.


Gerrr…. Semua peserta tertawa. Saya sendiri berpura-pura tidak tahu kesalahan saya.
            Sesi upacara selanjutnya berjalan lancar, tetapi saya yang sudah kehilangan kepercayaan diri hanya memberi wejangan singkat tentang disiplin. Begitu upacara selesai, saya bertanya kepada pemimpin upacara. ”Apa sih kalimat untuk mengakhiri hening cipta tadi?” Spontan dia tertawa. Jangan sudah, Pak. Tapi, hening cipta… selesai. Ha-ha….”
            Saya hanya mengusap peluh yang masih menetes di kening saya. Huh, ternyata tak nikmat menjadi Pembina upacara, ya?

2 komentar: